Rabu, 02 September 2009


Amarah menjamah darah
Engkau diam, murung dikurung tempurung
Separah apa aku berlari
Sama menghinakan diri sebelum menemukan nadi
Engkau menolak kata,
mencekam menerka suasana
Lupa akan malu, padahal terasa sendu
Darinya, aku bersembunyi, hinggap di ujung duri
dan menemukan makna, menyudahi resah
berbaris-baris
biarkan tangis seperti gerimis

Rabu, 20 Mei 2009

kejenuhan seperti kemarahan, ada di sorot mata, di jalan darah, dan diam......biarkan aku berdosa lagi, memakiMU semampuku....di tiang pedih dari bara, aku tak kan lagi murung, seringaiku adalah tanya yang tlah kujawab dengan dosa, karna jawabMU adalah diam serupa beku....
akU MARAH TUHAN...tapi Kau hanya diam
Layaknya dosa, aku akan mengembara di hampar semesta
meLantunkan Puisi,seiring Nadi,seNaif Birahi ketika pagi..
aku marah Tuhan, tapi Kau hanya diam....

sAmPai LelaH di tiTik paLinG LeMaH


Sampai lelah di titik paling lemah
Ketika dosa dan pahala
Kanya nilai dengan batas tipis
Ada celah tak panjang
Kanakala aku meronta, mengagungkan marah
Manakala hidup menyerupai
Bilur-bilur ironi yang membosankan

Kamis, 31 Januari 2008

buatmu

jika sesuatu itu pantas diperjuangkan
menjadikan kedamaian itu begitu lebih mempunyai makna
maka, perjuangkan ia
maka, biarkan nyali dan kemauan itu menghampiri
lalu menemanimu hingga sesuatu itu bisa kau raih....

Seusai Aku dan Kau be Last




Menjelang usai sekolah ini, ternyata banyak hal hal yang harus kupikirkan. Entah sengaja mampir atau apa, tapi dalam otak ini menggelayut berat, menjelang lulus!. Beberapa kawan dekat, sampai wali kelas, membuat berbagai acara perpisahan. Sahabat, cewek atau cowok saling memberikan kenangan terindah. Dan aku, aku juga mendapatkannya. Sebuah koleksi perangko dari teman wanitaku. Meski aku harus menggantinya dengan beberapa lukisan dan puisi-puisi kesukaannya.
“Perpisahan ini bukan selamanya kawan” kataku pada seorang kawan.
“Bukan mimpi buruk, seperti yang kalian bayangkan, perpisahan adalah niscaya, setelahnya tentu ada pertemuan kembali,” kataku suatu ketika
Kutuangkan setiap kegundahan ini seperti petuah. Meski aku tak tahu, kapan pertemuan itu bisa berulang, menyapa aku dan kawan. Hanya saja, kesedihan menjelang perpisahan itu begitu terasa, dan aku tak ingin semua larut dalam khusyu’nya yang tak perlu, tak penting.
Setiap waktu luang aku bersama-sama mereka, bermain lalu pulang ketika hari sudah larut. Hingga perpisahan itu benar-benar datang. Lalu begitu saja. Tak ada tangis seperti yang kubayangkan.
Pikiran ini masih bimbang. Menggelayut, menjadikan penat itu menghampiri pada waktu yang tak tepat. Aku memang tak pernah ingin kuliah, melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi seolah malah menitipkan kekalutan buatku.
“Aku nggak ingin kuliah, sudah bosan”,
“Jika diijinkan, aku pengin kerja”, tawarku pada ayah ketika itu. Ibu yang disampingku hanya diam, menunggu jawaban ayah.
“Nggak!, jawab ayah singkat. Tanpa alasan sedikitpun. Memusnahkan harapan kecilku. Hingga waktu terus berjalan. Membimbingku pada setapak kecil, sepi. Terpaksa pula aku ikut bimbingan belajar. Kelaziman jika aku ingin diterima di perguruan tinggi negeri, meski tak sekalipun aku pernah mengikuti bimbingan semacam itu. Pulang dari sedikit urusan dari sekolah, aku harus siap kembali disibukkan oleh bimbingan itu. Dalam kelas yang terasa membosankan. Apalagi di kelas itu juga aku tak punya teman, kenalan atau orang yang bisa kuajak berbincang. Semua berjalan seperti begitu lama, menjadikan sedikit kebencianku pada urusan sekolah.
Seorang perempuan manis ada di kelas bimbingan ini. Keanggunan dipadukannya dengan sedikit keangkuhan. Ia akrab dengan teman-temannya yang kebetulan sekelas. Tak mempedulikan orang di kelas yang seharusnya juga menjadi teman barunya. Dan aku. Aku bukan siapa-siapa yang mesti dipedulikan. Tak ada keharusan yang membuatnya melihatku. Toh, penampilan yang selalu urakan ini, membuat aku harus banyak sendiri, aku sadar dan aku tak pernah menyesalinya.
Tapi, keanggunannya bukan tanpa makna apa-apa buatku. Meski kebencian itu datang perlahan-lahan, mengisi bagian tersenyap pada jalan setapak yang harus terlampaui. Jika kelas bimbingan masuk, aku malah keluar, mengisi mataku dengan pemandangan alun-alun kota. Melihat beberapa pertunjukkan yang kebetulan diadakan. Aku menikmatinya. Dan kebencian itu terus memuai, mengisi setiap jalan darah. Perempuan itu tetap pada keanggunan dan keangkuhannya. Di kelas, sesekali aku melihatnya, sembari menghindari kecurigaan-kecurigaannya pada tatapanku.
Aku hanya berharap bimbingan belajar ini cepat berlalu. Lembaran pendaftaran itu sudah kuterima. Sebelum berangkat mengikuti test SPMB, aku harus menebusnya pada bimbingan belajar itu. Lembar-lembar kosong kupenuhi seperlunya. Mewakili kalutnya otakku. Sampai pada waktunya tiba.....

Saat pengumuman penerimaan. Aku diterima di universitas negeri. Koran-koran habis laris dibeli. Dan namaku masuk di antara nama-nama itu. Entah senang atau sedih, tapi ada bayang-bayang mengikuti tak sewajarnya. Di kota jauh aku harus bergegas. Menemui harapan-harapan keluarga, terutama ayah.
Di kota ini aku bersama kakaku yang sudah duluan menjadi mahasiswa. Ada perasaan senang setelah beberapa hari. Menghinggapi saat melihat wajah-wajah baru di kelas. Hingga suatu ketika...
Ada raut lama yang tak bisa kulupa. Perempuan dengan keanggunan berpadu keangkuhan, ada diantara calon mahasiswa. Kebencian itu mulai datang lagi. Kali ini lebih terasa, kebencian yang harus kulampiaskan dengan cara yang sempurna. Aku ingin keanggunan itu tanpa keangkuhan, keanggunan yang sederhana tapi indah. Dia lain kelas denganku. Tapi masih satu fakultas.
Dari beberapa teman baru, aku mengenalnya sebagai fasya. Gadis sekota denganku. Seorang perempuan dari masa lalu, ketika di bimbingan belajar dulu. Dia mengenalkanku pada kekaguman dan kebencian secara bersamaan.
Setelah perkenalan itu, perbincangan dengannya berjalan begitu saja. Tak ada yang istimewa. Sampai aku mencoba menghampiri di kostnya. Kusempatkan menemuinya jika malam tiba. Awal kuliah hampir tak ada yang kulakukan, selain kuliah dan menemaninya. Melewati malam-malam panjang dengan gurauan, dongeng-dongeng, seperti menautkan sesuatu pada keakraban itu. Kebencian itu masih kupendam, kusimpan dalam kenaifan-kenaifan kecil. Semua terus berjalan, mengalir tanpa penghalang apapun.
Hingga perasaan-perasaan itu bermunculan satu-persatu. Mengepak-kepakkan sayap rapuhnya pada kebimbangan berulang. Menumpuk pada kebencian, menimbunnya di dasar hati hingga aku tak bisa mengundangnya kembali.
Beberapa kali kugali niatan awalku, hanya sedikit yang bisa kurasa. Membuatnya anggun tanpa keangkuhan di mataku. Kekaguman dan kebencian terus mengikuti, melahirkan kenaifan yang tak pernah kuakui. Tak bisa jika keduanya datang bersamaan. Bersamanya pula perasaan itu mulai tumbuh perlahan, perasaan sayang dan ketakutan untuk kehilangan. Aku menyadarinya setelah hari-hari berlalu bersamanya. Kupungkiri sebisaku, menafikkannya sampai aku rasa perasaan itu timbul tenggelam menyerupai rembulan di musim pancaroba.
Entah perempuan itu, bagaimana perasaannya. Aku tak ingin mengetahui. Sampai beberapa bulan keakraban ini terjalin, dan kebencian itu tersulam kekaguman-kekaguman yang menyusul pada hari-hari berikutnya.
Perasaan itu, aku hanya menyerahkannya pada hati lalu nyali, hingga naifku mengambilnya, menuntun langkahku untuk menjauhinya. Meski aku seperti menyakitinya dengan sempurna, meninggalkannya tanpa bahasa dan kebencian yang aku buat sendiri. Naif ini begitu perkasa, melemahkan logika dan tak mempedulikan bagaimana dengan Fasya. Perempuan dengan keanggunan dan keangkuhan. Fasya tak lagi angkuh, hanya ada anggun yang hampir sempurna. Kecantikan sederhana yang tlah kutinggalkan begitu saja.
“Maaf, kata pertamaku....”
“Memilih diantara kebencian dan kekaguman yang tak kulakukan. Meninggalkan anggunmu yang tak lagi angkuh, seperti mimpi buruk. Meski aku hampir tak peduli dengan akhir cerita,”

Sederet tulisan pada lembar pertama buku naifku
“Pernah ingin aku ungkapkan, menyampaikannya dengan cara biasa, kutitipkan kata-kata itu pada nyali, kutinggalkan sebentar kebencian dan kuganti dengan kekaguman, entah mampu bertahan berapa lama. Sebisa mungkin untuk membunuh naif itu, tapi ia punya beberapa nyawa untuk aku enyahkan”

Tulisan dungu pada lembar kedua
“Setelah keakraban itu, aku tlah melihatmu Fasya. Perempuan dengan keanggunan tanpa keangkuhan. Sekalipun kebencian itu tak sepenuhnya hilang. Tergantikan kebodohan dan kehilangan logika yang berlarut-larut. Aku menyerah dan kalah pada nuansa yang ada. Sekalipun kau tak pernah menganggap aku salah, mungkin. Tapi aku salah langkah. Terseret pada ketakutan yang tak semestinya. Tentangmu, tentang keakraban yang tlah tersia-siakan dalam rentang masa dan cerita bodoh”.

Tulisan sesal lembar ketiga
Sekarang semua kebencian itu telah hilang, aku buang dalam serapah dari sesal yang berlarut-larut. Tapi semua juga telah berlalu. Mungkin tak ada yang tersisa, aku hanya mencoba mengungkapkannya sebelum perpisahan itu tiba. Sebelum kelulusanmu Fasya, biarkan aku bicara, lewat tulisan, kata dan cerita pendek yang sederhana. Tak ada makna istimewa mungkin, hanya kejujuran yang sedikit perlu. Dan aku bukan siapa-siapa, hanya pengagum keanggunan yang tak seberapa penting juga. Selebihnya, tak ada lagi penyesalan itu. Karena aku bosan menyesal....

****

Semua telah kutulis. Pada akhir bait, kusempatkan untuk menemui perempuan itu. Seorang Fasya. Memberanikan diri dengan perbincangan-perbincangan malam. Menjelang perpisahan ini, aku tak ingin menjadi bagian terburuk dari kenangan-kenangan Fasya. Kukatakan sepenuhnya kekawatiranku dulu. Ia dengarkan dengan diam, entah percaya atau tidak, tapi aku ingin mengalirkannya sampai tuntas, kepenatan ini, kegalauan ini yang tak tersumpal apapun.
Kedekatan itu memang hampir sampai padaku, pada kami. Meski kadang ia menghindar pelan-pelan, dengan cara yang tak bisa membuatku menuntutnya.
“Aku tak menginginkanmu lagi” sepertinya ia ingin berkata.
“Jauhi aku semampumu, karena semua hanya akan sia-sia, tak ada yang bisa dinikmati, hanya kecanggungan-kecanggungan yang terselip manis di antara kedekatan ini, sadarkah kau?” ia bertanya dalam kata yang terpendam, menyelinap lewat prasangkaku dan gambaran raut wajahnya yang bercerita.
Sementara keinginan untuk menemuinya datang menemuiku, tak tentu waktu. Dipaksanya aku berjalan mendekatinya, petuahnya agar aku tak lekas menyerah berulang kali menyerapahiku. Terus begitu, memperbincangkannya kadang seperti opium, menjadi candu pada waktu yang tak sama. Ketika waktu berganti, keterpaksaan itu menggantinya, menjadi jenuh.
Kuselipkan puisi di bukunya suatu ketika. Ringkasan cerita yang tak bagus. Harap-harap, ia membacanya, menyimpulkannya dengan bijaksana. Ia menanyakannya padaku perihal puisi itu, pada kesempatan percakapan di telephon suatu malam. Aku tak menjawabnya. Mengulur waktu, mengumpulkan nyali yang tercerai-berai dibuatnya. Sedikit alasan yang tak terasa kebebasan secuilpun.
Hingga sampai Fasya harus pulang.
“Ada sedikit urusan di rumah,” katanya
Tak harus buatku menanyakannya terlalu jauh. Entah berapa lama ia harus pulang, aku tak ingin menebaknya. Kubiarkan ia melangkah menjauh, meninggalkan aku dengan alasan-alasan yang sempurna. Dan kegalauan ini timbul tenggelam lalu menepi. Setelahnya senyap itu menyergap. Memberiku kesempatan buat memendam bayangan itu sekali lagi.
Aku tak mampu. Rautnya tak pernah tergores seguratpun.
Sebenarnya aku ingin beranjak, harapan terakhir adalah kelulusan. Tapi itupun seperti angin. Cuma harapan yang berkarat, tersia-siakan. Fasya tak juga beranjak. Jika perpisahan itu niscaya, kuharap hal itu lekas datang. Biar bayangan-bayangan itu meredup lalu mati. Tapi semua masih sama. Suasana serupa yang menitipkan aku pada keadaan yang tak bersahabat, dan aku bosan memakinya.


oliva


Jalan Oliva Dan Tentang Kematiannya

“Aku harus pulang,” katanya padaku suatu ketika. Mimik wajahnya menyiratkan ada kegundahan yang dipendam dalam-dalam.
“Ada keinginan orang tua, yang mesti kulakukan,” tambahnya pelan. Dan aku mendengarnya dengan seksama. Membaca risau itu, ia datang pelan-pelan. Tanpa mengajakku untuk memasuki dunianya.
“Jika kesempatan itu datang dua kali, sebisaku untuk kembali kesini,”
“Jangan banyak berharap untuk memilikiku, adanya aku buatmu juga bagian dari tidak adanya aku, begitu sebaliknya,” terakhir kali ia ucapkan kata-kata itu.
Hanz. Aku tak pernah mendengar panggilan itu selepas kepergiannya. Gadis itu satu-satunya orang yang memanggil nama asliku. Oliva Dewi Nirmala, nama gadis itu. Seorang gadis pendiam yang telah membawa separuh jiwaku. Kutitipkan beberapa waktu lalu, semenjak perkenalan kami di suatu pesta ulang tahun seorang sahabat. Ia hanya gadis biasa. Perbincangan-perbincangan setelahnya, membuatku tertelan keinginan untuk mengetahuinya lebih jauh.
Setiap waktu luang, kusempatkan menemui Oliva. Kesukaanya hampir sama dengan kesukaanku. Perbincangan kami juga tak jauh-jauh dari obrolan kehidupan, masalah sosial. Atau sewaktu-waktu kami bicarakan sesuatu yang kami sendiri tak pernah mengerti, jalan kematian. Keakraban itu begitu damai. Berjalan pada setapak persahabatan sederhana. Menghabiskan waktu, melupakan kesedihan demi kesedihan pada paruh-paruh malam dan akan usai jika pagi menjelang. Kuantar ia ke tempatnya. Kenyamanan itu hampir sempurna, ketenangan yang hanya bisa kunikmati jika bersamanya. Satu alasan buatku untuk menitipkan separuh jiwa ini padanya. Ia juga menitipkan separuh jiwanya padaku.
Tak ada kata-kata cinta.
“Cinta selalu berbohong dengan cara kekaguman,” kata Oliva
“Karena kekaguman hanya percaya pada penginderaan yang seharusnya tak dapat dipercaya,”
Kuanggukkan kepala, tanda kesetujuanku pada gaya berpikirnya. Gaya imanjinasi yang menembus batas dan alur kelaziman. Gadis masa kini yang tak pernah terjamah oleh trend, model rambut, mode pakaian, dan cara pikir yang begitu dungu. Semua dilepaskan oleh Oliva, segala beban dan kepenatan yang menghantui setiap manusia. Ia adalah bagian terindah yang nyaris kuraih. Dalam kedekatan ini, ia telah mengajarkan padaku banyak hal baru. Kadang kami saling berpendapat, bergantian mengungkapkan gejolak-gejolak dalam keterbatasan. Menyingkap ketabuan, di dunia yang mengekang ini.
“Jika hidup itu tanpa kematian, maka dunia ini adalah kematian, karena kematian dalam hidup ini adalah niscaya, penderitaan yang mesti dilalui setiap manusia,” katanya suatu ketika
*****

Hingga saat ini ia masih bersamaku. Tak ada kebosanan seperti ketika aku bersama teman-teman lain. Oliva pernah mengajakku. Mencari hening di suatu tempat. Perbukitan di pinggiran kota ini. setelah sepenggalah matahari naik, kami berangkat ke sana. Kami membangun kemesraan di perbukitan itu. Kecantikan dan keranuman itu serupa bunga oliva, melambatkan aliran darah dan degup jantung. Aku telah mengatakannya. Setiap kebersamaan itu telah membuat kekaguman-kekaguman ini menggumpal, mendorongku untuk lekas menyudahi kenaifan. Dan ia telah mendengarnya di perbukitan. Kata demi kata terlepas begitu saja. Kuceritakan semua, tanpa tabir. Oliva mendengarnya dengan seksama, seperti bidadari di rumpun perdu. Termangu pada ungkapan itu. Tersenyum sesekali, mengusap wajahku yang telah pasi sedari tadi. Setelahnya, hanya ada diam, beku entah kenapa
“Benarkah, benarkah yang kau katakan tadi,”? Tanyanya tiba-tiba. Kuanggukkan kepala, begitu berat, aliran darah yang kacau.
“Kenapa kau mencintaiku, apa kau melihatku sebagai perempuan yang cantik”?
“Apa kau begitu tertarik memiliki tubuh ini sepenuhnya,”?. Aku lemah. Pertanyaan yan tak bisa kujawab secara sempurna. Diam menjadi begitu menyiksa, kulempar pandangan dari tatapannya.
“Kenapa melempar pandangan itu, bukankah itu adalah bagian pengharapanmu tentangku. Bukankah kejujuran bagimu adalah dongeng dari mata, nyanyian dari telinga, nikmat dari lidah dan perabaan. Apa kekaguman hanya begitu sederhana, padahal aku telah mengagumimu dengan pencarian yang dalam, perasaan cinta yang tak pernah kubicarakan. Kekaguman yang selalu ada dan terpendam. Kuungkapkan lewat kebersamaan yang membuatku berbicara seperti ini. Karena ungkapan cinta hanya akan menipuku dan membohongimu. Tak mengertikah kau,”?.
Dipandanginya kebodohanku. Dilumatnya kepicikan ini menjadi serpih, lalu hanyut dalam makna dari kata-katanya yang membius. Setiap nafas lembutnya menjadi tekanan, menyesakkan dada. Dipungutnya satu dua daun kering, jatuh dihembus angin gunung yang dingin. Sejenak Oliva diam. Hening. Seperti memberiku kesempatan untuk menciptakan horison, imajinasi bahwa dirinya hanya sebuah siluet serupa senja. Sebentar saja menipuku dengan pesonanya, lalu hilang begitu saja. Aku tlah kedinginan, menggigil parah karena suasana yang kucipta sendiri.
“Jika keakraban ini tak punya makna apapun, kau boleh bicara cinta,” katanya memecah kebekuan ini.
“Kau boleh menikmati setiap jengkal tubuh yang kau kagumi ini, nikmati sepuasmu, aku tak akan menolaknya, aku tak akan mencegahmu,”
“Mmmhhmm...” Oliva bergumam.
“Tapi jika kedekatan kita telah merasuk dalam jiwa, menerbangkan kemesraan ini menyusuri rentang masa tak bertepi, maka biarkan kekaguman itu menjadi abadi, kelak kita akan menikmatinya di tengah-tengah telaga tuhan,” ia berkata pelan. Menyerupai bisikan yang menjelajah setiap rongga tubuhku. Terpaku aku dibuatnya. Kekalahan yang malah membuatku merasa segalanya indah. Oliva mengajarkannya dengan sempurna.
*****

Setelah di bukit itu, Oliva jarang terlihat. Seakan menghindariku pelan-pelan. Beberapa kali hp-nya kuhubungi, sinyal menunjukkan hp-nya mati. Di fakultas aku juga tak menemukannya, semua menggeleng perihal Oliva. Sampai suatu saat, ketika kerinduanku meremas ketegaran yang selama ini kubanggakan. Seseorang menemuiku, ia mengaku disuruh Oliva. Dua lembar kertas dengan samar-samar tulisan kulihat dari luar.
“Dari Oliva,” kata gadis itu
“Sementara kau membaca surat itu, disuruhnya aku menunggumu sampai selesai, bacalah mulai sekarang, jangan biarkan waktu yang tak seberapa panjang ini tersia-siakan,” dingin gadis itu bicara. Gaya bicaranya mirip Oliva. Pelan tapi membius.
Kubuka lembar pertama kertas lusuh itu. Tulisan rapi, tulisan Oliva. Tinta biru dan bekas air di beberapa bagiannya. Oliva, jika diperbolehkan, aku tak ingin membacanya. Ada gemuruh di sini, kerinduan tentangmu yang meracuniku atau membimbingku, entahlah

Hari ketujuh bulan pertama, lembar pertama.....
Aku coba menanggalkan keinginan-keinginan tak perlu. Menepikan setiap bias keakraban dan kedekatan yang membuatmu juga membuatku saling terbius dalam kekaguman menipu. Semenjaknya perasaan itu perlahan datang padaku, aku tlah mencabik-cabik jiwaku juga jiwamu.
Dengan bahasa keakraban itu, biarlah kuungkapkan lewat tulisan ini. Keindahan, keranuman tubuh ini akan kubawa menjauh, meninggalkan kebutaanmu tentangku. Biar kau, bagian terindah pengisi dunia fanaku, tak lagi dikelabui oleh orang yang kau cintai. Setiap nafasmu, rasakan nafasku, nikmati di suatu ruang tak berbatas. Kehidupan ini bagiku, bagimu adalah kematian tentunya. Seperti dalam perbincangan-perbincangan panjang kita. Meski kita tak pernah bisa menghilangkan perasaan-perasaan itu satu sama lain.
Lalu, semenjak di perbukitan tepi kota itu. Ahh.. aku sengaja menghindarimu. Aku yakin kau pasti mencariku, kebingungan di sebuah kerinduan, kau tahu kenapa....karena kau tlah buta. Kau tak pernah memahami bahwa aku adalah bangkai sama seperti kau, jika roh ini terbang jauh, tubuh yang kau katakan indah ini akan membusuk. Terbaring dalam timbunan tanah berbelatung.
Sudahlah Hanz, biarkan aku mencari kebenaran itu tanpa diikuti pesona-pesona dunia. Ibuku telah menjodohkanku dengan lelaki pilihannya. Aku menerimanya. Senyampang aku menuju kehidupan dan samudera tak berbatas itu, biar kupersembahkan keindahan pada perempuan yang melahirkanku.
Kuserahkan pada lelaki itu, jiwa dan raga ini, sisi dunia yang pernah kau kagumi. Jika kau ingin marah, sedih atau putus asa, lepaskan semua perasaan itu. Hingga di sana, dalam jiwamu tak ada lagi yang tersisa, selain kekosongan dan dunia maya berisi jutaan bintang dan galaksi yang tak bisa dijamah.

Hari ketujuh bulan pertama, lembar kedua....
Kau ingat, hari itu adalah ulang tahunmu, sekaligus waktu dimana kita dipertemukan oleh sahabatku. Dalam pestanya yang memusingkan kepala. Jujur, saat itu aku berpikir bahwa kau orang yang seide denganku, mampu menjawab setiap misteri-misteri yang bergumul di kepalaku. Dan aku tak salah, meski aku juga tak terlalu benar menerka. Malam-malam kebersamaan kita buktinya. Keakraban yang telah membuat kita saling mengisi, berbagi, dan berujung pada kekaguman yang tak seharusnya.
Setiap marahmu mampu kuredam, kuimbangi dengan meluruskan jalan pikiranmu. Sampai saat ini, kau juga tak mampu memahami sedalam apa perasaanku, melebihi yang pernah kau katakan, melampaui apa yang pernah kau bayangkan.
Hari ketujuh bulan pertama, bagian lembar dua....
Kutitipkan tulisan ini pada sahabatku, sekaligus adikku, untuk menyerahkannya padamu, hanz. Dia seorang gadis seperti aku, selalu meredam setiap penipuan-penipuan indera. Hanya saja ia memilih jalan berbeda, bukan jalan kematian muda, jika kau ingin tahu, tanyakanlah sendiri. Cukup cantik bukan!. Tunjukkan padanya keakraban, seperti keakraban kita. Isi hatimu dengan kekaguman padanya untuk menggantikan pengharapanmu buatku. Ia masih di dekatmu bukan, aku memang menyuruhnya begitu. Hanz, sepertinya aku harus menyudahi tulisan ini. Jika terlalu panjang, hanya akan membuat ketegaranmu terbenam di dalamnya.
Hanz, maaf aku lupa. Seusai membaca tulisan ini, kau harus menghapus kekagumanmu padaku. Jangan pernah mencari, karena itu hanya kesia-siaan. Hari ini mungkin aku telah menemukan kebebasan, bersandar di tepi telaga tuhan. Keabadian yang dulu sering kita perbincangkan. Oh..ya.. nama gadis di dekatmu adalah Desta.....
Maaf buat semua, segala keindahan dan kekaguman yang selalu dibohongi oleh mata atau jasad fana...

Oliva Dewi Nirmala
Di tepi telaga tuhan

Sampai di sini saja Oliva, benarkah kata-katamu?. Kulihat gadis di sampingku. Kegalauan tetap saja ada di sana. Keresahan seperti yang dimiliki Oliva, kebekuan yang menekan setiap aliran dan degup jantung.
“Kau namanya Desta, Oliva memberitahuku di tulisan ini,” kataku. Ia hanya mengangguk pelan.
“Kau tau, dimana oliva,”?.
“Ia telah jauh mengembara, di ruang-ruang tanpa batas, di tepi telaga tuhan,” katanya datar. Kuselami sorot mata itu. Menghunjam ulu hati, seperti tatapan-tatapan Oliva.
“Dua hari lalu, Oliva telah memilih jalannya,” katanya lagi
“Kematiannya di sebuah perbukitan, di kota kelahirannya, kelahiranku juga. Setelah pernikahan memaksa itu, dijalaninya,” lirih suara Desta bagai petuah panjang, menyadarkanku yang tak pernah tahu sedalam apa perasaan oliva.
“Dia kakakku yang terbaik....

mukadimah pencerahan

sebatas hidup hanya meronta
rebah hati pada tipuan-tipuan, kedunguan
ketika lari, menjadi pengecut,
ketika berhenti hanya akan mati

alam menjadi begitu bermakna ketika kita memberinya makna

alam menjadi begitu bermakna ketika kita memberinya makna
tu eres mi vida

bunga keabadian

bunga keabadian
jika keharusan menemuimu adalah ironi, maka biar kulukis kau serupa mawar...indah tapi fana..